KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
1.1. Pendahuluan
Pemahaman
yang mendalam tentang Ketuhanan dalam Islam perlu bagi mumat Islam untuk menambah keyakinannya, keimanannya dalam meningkatkan ketakwaan. Alam semesta
beserta seluruh isinya dapat dijadikan sebagai bahan renungan dan pembelajaran
tentang penciptaannya sekaligus sebagai bukti kekuasaan Tuhan. Manusia
diwajibkan menjadikan Allah sebagai pengawasan melekat terhadap dirinya dalam
kehidupan agar tidak berbuat dosa dan kejahatan.
Dalam bab
pertama ini akan dibahas tentang: 1) Hakikat Tuhan 2) Kemahaesaan Allah; 3). Pembuktian
Keberadaan Allah dengan memperhatikan alam semesta.
A. Hakikat Tuhan
Islam
mengajarkan bahwa selain nama Allah dikenal pula kata ”Ilah”. Luth (2007:23)
menjelaskan bahwa kata ”Ilah” yang selalu diterjemahkan ”Tuhan” digunakan dalam
Alquran surat Al Jatsiyah: 23, yaitu:
Artinya: ” Maka pernahkah
kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah
membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?
Ilmuan Barat
seperti Max Muller dan EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens (Luth,
2007) mengkaji tentang Tuhan dikenal dengan teori evolusionisme, yaitu teori
yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna.
Proses
perkembangan pemikiran tentang Tuhan berdasarkan teori tersebut di atas, maka
mumcullah istilah Dinamisme, Animisme, Politeisme, Heniteisme, dan atau
Monoteisme.
Dalam kajian
perpustakaan dikenal filsafat ketuhanan, yaitu mengkaji kekuasaan Tuhan sampai
ke akar-akarnya atau dengan kata lain mengkritisi kekuasaan Tuhan secara
mendalam dan tuntas. Oleh karena itu, Tuhan Yang Maha Esa oleh umat Islam
diyakini sebagai Tuhan Pencipta alam semesta dan memiliki sifat-sifat dan nama-nama yang baik atau dikenal dengan
sebutan ”Asmaaullah al-husnaa”
dijelaskan oleh Muhammad Daud Ali (1998) dalam bukunya “Pendidikan Agama Islam”
mengatakan bahwa di dalam Ilmu Tauhid, dijelaskan dua puluh sifat Tuhan, yang
disebut dengan sifat dua puluh. Sebagai mahasiswa, yang perlu diketahui adalah
bahwa Allah, Tuhan yang Maha Esa itu bersifat:
1. Hidup. Ini berarti
Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah TuhanYang Maha Hidup. Hidupnya itu Maha Esa tanpa memerlukan makanan dan
minuman, istirahat dan sebagainya. Konsekwensi keyakinan seperti itu adalah
segala sesuatu yang sifat hidupnya memerlukan makanan, minuman, tidur dan
sebagainya bagi seorang muslim bukanlah Allah dan tidak boleh dipandang sebagai
Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Berkuasa. Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya Maha Esa, tiada bertara,
tidak ada tolok banding-Nya. Ia maha Kuasa tanpa memerlukan pihak lain manapun juga dalam kekuasaan-Nya.
Ia Maha Kuasa dengan sendiri-Nya. Konsekwensi keyakinan seperti itu adalah
seorang muslim harus teguh dalam keyakinannya pada kekuasaan Allah, melampaui
segala kekuasaan selain dari kekuasaan Allah. Dan sebagai akibatnya, seorang
muslim tidak boleh takut pada kekuasaan lain yang ada di alam ini, baik
kekuasaan berupa kekuatan-kekuatan
alamiah maupun kekuasaan-kekuasaan insaniah.
3.
Berkehendak. Allah mempunyai kehendak. Kehendak-Nya
Maha Esa dan berlaku untuk seluruh alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.
Konsekwensi keyakinan yang demikian adalah bahwa kehendak Allah Yang Maha Esa
wajib diikuti oleh setiap muslim. Kehendak Allah yang masih asli tercantum
dalam al-Quran yang menjadi kitab suci umat Islam. Selain itu, kehendak Allah
dapat pula dijumpai pada ayat-ayat kauniyah di alam semesta berupa sunnatullah
yaitu hukum-hukum Allah yang oleh para sarjana disebut Nature of
laws.
B. Hakikat Allah dalam Keesaan-Nya.
Islam
mengajarkan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Mutlak di samping sebagai Tuhan
Yang Maha Esa, dan Pemelihara alam semesta. Segala sesuatu mengenai Tuhan
disebut ketuhanan.
Allah berfirman
dalam Alquran surat Ali Imran ayat 3:
Artinya: “Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya.”
Osman
Raliby (1980) mengatakan bahwa konsep
tentang Ketuhanan Yang Maha Esa disebut Tauhid. Ilmunya adalah Ilmu Tauhid.
Ilmu Tauhid adalah ilmu tentang Kemahaesaan Tuhan. Dalam ilmu Tauhid dikenal
istilah tauhid uluhiyyah dan tauhid
rububiyyah. Tauhid uluhiyyah adalah hanya Allah yang menerima semua ibadah
manusia. Ketika manusia menyembah selain
Allah maka disebut musyrik. Misalnya menyembah roh, pohon, batu, gunung,
kuburan, membawa sesajen ke sungai atau istilah lain percaya kepada dinmisme
dan animisme. Mereka meyakini bahwa hal tersebut mempunyai kekuatan yang dapat
menyelamatkan dan melindungi. Disebutkan dalam Alquran surat Annisa’ ayat 36 Allah berfirman
Artinya: “Sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.”
Tauhid
rububiyyah adalah meyakini bahwa yang memelihara alam beserta isinya hanyalah Allah.
Perhatikan
firman Allah dalam Alqurran Surat Alfatihah ayat 2:
Artinya: “Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Makna “Rabbul
‘alamin” mengandung makna bahwa Allah adalah Tuhan Pemelihara alam semesta, Tuhan
yang mengatur manusia, tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya sesuai dengan
kadarnya. Muhammad Daud Ali (1998) mengutip pendapat Osman Raliby yang
mengemukakan tentang Kemahaesaan Tuhan sebagai
berikut:
1.
Allah Maha Esa dalam Zat-Nya
2.
Allah Maha Esa dalam Sifat-Sifat-Nya
3.
Allah Maha Esa dalam Perbuatan-Perbuatan-Nya
4.
Allah Maha Esa dalam wujud-Nya
5.
Allah Maha Esa dalam menerima ibadah
6. Allah Maha Esa dalam menerima
hajat dan hasrat manusia
7.
Allah Maha Esa dalam memberi hukum
1.1
Allah Maha Esa dalam Zat-Nya.
Kemahaesaan
Allah dalam Zat-Nya dapat dirumuskan dengan kata-kata bahwa Zat Allah tidak
sama dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Dia Unik, berbeda dalam
segala-galanya. Zat Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah materi yang terdiri atas
beberapa unsur bersusun. Ia tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan
benda apa pun yang kita kenal, yang menurut ilmu fisika terjadi dari susunan
atom, molekul dan unsur-unsur berbentuk yang takluk kepada ruang dan waktu yang
dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, yang dapat hancur, musnah dan lenyap pada suatu masa. Allah berfirman dalam Alquran Surat
Asyura ayat 11:
Artinya: “(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
Keyakinan
kepada Zat Allah Yang Maha Esa seperti itu mempunyai konsekwensi.
Konsekwensinya adalah bagi umat Islam yang mempunyai aqidah demikian, segala sesuatu
yang dapat ditangkap oleh pancaindera mempunyai bentuk tertentu, tunduk pada
ruang dan waktu, hidup memerlukan makanan dan minuman seperti manusia biasa,
mengalami sakit dan mati, lenyap dan musnah, bagi seorang muslim bukanlah
Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Ali,
1998).
1.2
Allah Maha Esa dalam Sifat-Sifat-Nya.
Kemahaesaan
Allah dalam sifat-sifat-Nya ini mempunyai arti bahwa sifat-sifat Allah penuh
kesempurnaan dan keutamaan, tidak ada yang menyamai-Nya. Sifat-sifat Allah itu
banyak dan tidak dapat diperkirakan. Namun demikian, dari Alquran dapat
diketahui sembilan puluh sembilan nama
Tuhan yang biasanya disebut dengan al-Asmaaulllah al-Husnaa.:
Sembilan puluh sembilan nama-nama Allah yang indah (Muhammad Daud Ali, 1998:
23; A.Toto Suryana, 1996: 71; dan Muslim Nurdin dkk.,1993: 86-91).
1.3
Allah Maha Esa dalam Perbuatan-Perbuatan-Nya
Pernyataan
ini mengandung arti bahwa kita meyakini Tuhan Yang Maha Esa tiada bertara dalam
melakukan sesuatu, sehingga hanya Dialah yang dapat berbuat menciptakan alam
semesta ini. Perbuatan-Nya itu unik, lain dari yang lain, tiada taranya dan
tidak sanggup pula manusia menirunya. Kagumilah, misalnya, bagaimana Ia
menciptakan diri kita sendiri dalam bentuk tubuh yang sangat baik, yang
dlengkapinya dengan pancaindera, akal, perasaan, kemauan, bahasa, pengalaman
dan sebagainya. Perhatikan
pula susunan kimiawi materi-materi yang ada di alam ini. Misalnya H20, susunan
kimiawi (materi) zat cair, C02, zat asam dan sebagainya. Konsekwensi keyakinan
bahwa Allah Maha Esa dalam berbuat (perbuatan-Nya) adalah seorang muslim tidak
boleh mengagumi
perbuatan-perbuatan manusia lain dan
karyanya sendiri secara berlebihan. Manusia, baik perseorangan maupun sebagai
kolektivitas, betapapun genial (hebat) ,
tidak boleh dijadikan obyek pemujaan apalagi kalau disembah pula.
1.4
Allah Maha Esa dalam Wujud-Nya.
Allah Maha
Esa dalam wujud-Nya. Ini berarti bahwa ujud Allah berbedadengan wujud
alam semesta. Ia tidak dapat disamakan dan diserupakan dalam bentuk apapun
juga. Oleh karena itu, Anthromorfisme
(paham pengenaan ciri-ciri manusia pada alam seperti binatang atau benda mati
apalagi pada tuhan) tidak ada dalam ajaran Islam. Menurut keyakinan Islam,
Allah Maha Esa. Demikian Esa-Nya sehingga wujud-Nya tidak dapat disamakan
dengan alam atau bagian-bagian alam yang merupakan ciptaan–Nya ini. Keberad
Wajib. Karena itu Ia disebut wajibul
wujud . Pernyataan ini mempunyai makna bahwaan Allahlah yang
abadi dan wajib eksistensi atau wujud-Nya. Selain Dia, semuanya mumkinul wujud. Artinya boleh (mungkin) ada, boleh (mungkin)
tiada seperti eksistensi manusia dan seluruh alam semeseta ini yang pada
waktunya pasti akan mati atau hancur binasa. Konsekwensi keyakinan yang
demikian adalah setiap manusia muslim sebagai bagian alam, harus selalu sadar
bahwa hidupnya hanyalah sementara di dunia ini, tempat ia diuji mengenai
kepatuhan dan ketidakpatuhannya pada perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya. Pada suatu ketika kelak seluruh alam akan hancur binasa
dan akan muncullah suatu hidup sesudah
mati yang sifatnya lain sama sekali dari apa yang kita lihat dan rasakan di
dunia ini. Pada waktu itu nanti di hadapan Allah Tuhan Yang Maha Adil,
masing-masing manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya selama
hidup di bumi ini. Celakalah manusia yang bergeliman dalam dosa dan
berbahagialah manusia yang beriman, yang yakin kepada Allah Tuhan Yang Maha
Esa, dan taqwa: mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.
1.5 Allah Maha Esa dalam Menerima Ibadah
Allah
Maha Esa dalam Menerima ibadah berarti
bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan menerima ibadah. Hanya
Dialah satu-satunya yang patut dan harus disembah dan hanya kepada-Nya pula
kita meminta pertolongan. Yang dimaksud dengan ibadah ialah segala perbuatan
manusia yang disukai Allah, baik dalam kata-kata terucapkan maupun dalam bentuk
perbuatan-perbuatan lain, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Konsekwensi
keyakinan ini adalah hanya Dialah Allah yang wajib kita sembah, hanya
kepada-Nya pula seluruh salat dan ibadah yang kita lakukan, kita niatkan dan
kita persembahkan.
1.6
Allah Maha Esa dalam Menerima Hajat Manusia.
Bila manusia hendak menyampaikan maksud, permohonan
atau keinginannya kepada Allah langsunglah sampaikan kepada-Nya, kepada Allah
sendiri tanpa perantara atau media apa pun namanya. Tidak ada system rabbaniyah atau kependetaan dalam
Islam. Semua manusia, kecuali para Nabi dan Rasul, mempunyai kedudukan yang
sama dalam berhubungan langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa. Konsekwensi
keyakinan ini adalah setiap muslim tidak memerlukan orang lain di dunia ini
dalam menyampaikan hajat dan hasratnya kepada Allah.
1.7 Allah Maha Esa dalam Memberi Hukum
Allah Maha Esa dalam Memberi Hukum berarti Allahlah satu-satunya Pemberi Hukum
yang tertinggi. Ia memberi hukum kepada alam, seperti hukum-hukum alam yang
selama ini kita kenal dengan sebutan hukum-hukum Archimides, Boyle, Lavoisier, hukum relativitas,
thermodynamic dan sebagainya (Ali, 1998). Ia pula memberi hukum kepada umat
manusia bagaimana mereka harus hidup di bumi-Nya ini sesuai dengan
ajaran-ajaran dan kehendak-Nya yang dengan sendirinya sesuai pula dengan
hukum-hukum alam dan watak manusia, yang
semuanya itu adalah ciptaan Allah. Konsekwensi keyakinan seperti ini adalah
seorang muslim wajib percaya pada adanya hukum-hukum alam (sunnatullah) baik
alam fisik maupun alam psikis dan spritual yang terdapat dalam kehidupan, baik
kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Sebagai muslim kita wajib taat
dan patuh serta meyakini kebenaran hukum syariat Allah yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad kepada manusia dan menjadikannya sebagai jalan hidup kita. Jalan hidup yang
dikehendaki Allah, menurut aqidah, adalah jalan hidup Islam.
Jalan hidup
Islam itu disebut juga dengan istilah syariat Islam.. Dan karena syariat Islam pula adalah hukum
Allah. Konsekwensinya adalah bagi umat Islam yang secara teoritis dan praktis
dengan bebas telah memilih Islam sebagai agamanya, tidaklah ada jalan lain yang
lebih baik yang harus ditempuhnya selain berusaha sekuat tenaga mengikuti jalan
hidup Islam itu sebaik-baiknya (Osman Raliby, 1980).
C. Pembuktian Keberadaan Allah
Allah atau Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dibuktikan dengan
perabaan fisik tubuh manusia tetapi hanya dapat disentuh dengan akal pikiran
yang sehat. Menurut Hamka (1983) dapat dilihat pada tiga pembuktian: 1) Dalil kejadian, 2) Dalil
peraturan dan pemeliharaan, dan 3) Dalil gerak. Perhatikan uraian berikut.
1.
Dalil kejadian
Manusia telah ada di dunia, namun
manusia mengakui bahwasanya dia terjadi bukan atas kehendaknya. Bukan dia yang
menjadikan dirinya sendiri. Bukan dia yang membuat anak. Bumi tempat hidupnya
pun bukan dia yang membuatnya. Sejak manusia
lahir sudah mendapati keberadaan bumi. Langit pun telah menjadi atap
tempat berlindung, dan tangannya tidak pernah ikut membinanya.
Segelintir manusia mengatakan aku tuhan, meskipun mereka
tidak mampu menjadikan seekor nyamuk. Jelaslah bahwa segala sesuatu yang
terjadi, dari tidak ada menjadi ada, sebaliknya dari yang ada menjadi tidak ada,
semuanya dari Allah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, Dialah yang merencanakan,
mengadakan dengan berbagai bentuk di alam ini.
Bangsa Arab yang mula-mula menerima Alquran dalam
masyarakat yang masih sederhana, dianjurkan melihat unta, bagaimana dia
dijadikan; langit bagaimana ia ditinggikan; gunung-gunung bagaimana ia
dipancangkan; dan bumi bagaimana ia dihamparkan. Perhatikan Q.S. Al-Ghasyiah:
17-20:
Artinya: “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?. Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?.
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.”
Beberapa ayat disebutkan di atas mengandung makna
bahwa dengan melihat kejadian alam dan
sekitarnya, setiap orang yang berakal akan bertanya: “Siapa yang menajdikan
semua ini? Dan jawabannya
adalah Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
2.
Dalil Peraturan dan
Pemeliharaan
Ketika seseorang masuk ke rumah, dilihatnya meja
teratur, kamar tersusun,, makanan terhidang, tempat tidur yang bersih, dan ada
pula ruang makan dan ruang tamu. Ada ruang kamar mandi dan sebagainya. Apalagi
kalau dilihat teraturnya pekarangan dan tertatanya bunga. Maka terlintaslah
dalam pikiran orang itu bahwa semua yang teratur dan tertata rapi, ini ada yang
mengaturnya. Lihatlah pula alam di sekitar kita, misalnya tetumbuhan, hewan,
air dan udara semuanaya diperuntukkan kepada manusia.
3.
Dalil gerak
Matahari bersinar setiap hari, bulan pun bercahaya pada
malam tertentu dan bintang yang gemerlapan serta berbagai galaksi di angkasa
luar, semuanya berjalan dan berputar
pada porosnya mengikuti sunnatullah (hukum alam) yang telah ditentukan
oleh sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa mengalami kerusakan dan gesekan
sedikit pun. Manusia bertanya: ‘Siapakah yang mengatur dan menggerakkan semua ini, begitu indah dan tertib?. Jawaban
atas pertanyaan tersebut hanya satu dan singkat jawabannya, Dialah Allah
Swt.yang mengatur dan menggerakkan sampai waktu yang telah ditentukan pula
oleh-Nya.
1.3. Penutup.
Kebenaran
Alquran dan Hadis sahih Nabi atau disebut dengan wahyu sifatnya mutlak atau
tidak diragukan kebenarannya, karena sumbernya dari Allah. Lain halnya dengan
kebenaran yang digali dengan pemikiran yang mendalam dan radikal yang disebut
dengan kebenaran filsafat, sifatnya nisbi dan relatif. Mungkin kebenaran yang
kedua disebutkan (kebenaran filsafat) berubah satu atau dua dasarwarsa
berikutnya.
Tugas:
Jawablah pertanyaan berikut ini.
1. Terangkan perbedaan “kebenaran” menurut
filsafat dengan agama dan berikan contoh masing-masing!
2. Uraikan empat dari tujuh Kemaha Esaan Allah dengan singkat!
3. Terangkan bukti-bukti keberadaan Allah dan
berikan contoh!
4.
Tulis dan terjemahkan surat
al-Ikhlas dan ayat Kursi!
0 Response to "KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM"
Post a Comment